Cinta Mahasiswa untuk Burung Migran di Muara Kali Progo, Yogyakarta – “ Paruhnya pendek. Dada putih corak abu,” tutur seseorang mahasiswa yang tengah mengamati seekor burung trinil tepi laut lewat teropong. Mahasiswa lain di sampingnya bekerja menulis apa yang diamati sang peneropong.
Cinta Mahasiswa untuk Burung Migran di Muara Kali Progo, Yogyakarta
wildrye – Bukan hal yang gampang buat paham apa yang sedang dicoba para mahasiswa ini. Di kejauhan, 3 ataupun 4 mahasiswa merangkak dengan satu tangan menggenggam teropong dengan selalu terpasang di mata, hati- hati, satu tangan mereka yang lain menarik jarak, mendekati sekumpulan burung lain yang lagi asik mencari makanan di pinggir ambang bengawan Kali Progo.
Melansir kumparan, Panas terik kemarau panjang bulan Oktober yang sangat terasa berhamburan di langit, di udara, dan di pasir, tak sedikit pun menggoyahkan semangat mereka.
Baca juga : Seruan Perlindungan Dalam Peringatan Hari Satwa dan Alam Liar Sedunia
Minggu( 27/ 10) pagi itu merupakan hari kedua mereka berada di lokasi observasi. Mulai dinihari, puluhan mahasiswa itu telah mulai menyiapkan dirinya. Terdapat yang lagi padat jadwal bersih- bersih tubuh, terdapat yang terkini berakhir doa, terdapat yang lagi memberesi barang- barangnya, terdapat pula yang semata- mata bersandar bebas menikmati kesegaran hawa pagi yang tidak sering mereka temui di Kota Yogyakarta.
Mereka merupakan para mahasiswa yang lagi melaksanakan tujuan observasi burung evakuasi di ambang Bengawan Progo. Mereka melabeli aktivitas itu Pergelaran Burung Tepi laut.
Semenjak Sabtu( 26/ 10) petang mereka telah melaksanakan observasi di ambang Bengawan Progo. Serta tadi malam, mereka menginap di Bengkel seni Adat Resi Bisma Dewabrata di Desa Talkondo, Dusun Poncosari, Srandakan, Bantul, Yogyakarta. Untuk burung migran, kala teman sebayanya menghabiskan akhir minggu dengan seluruh cerita romantikanya, para mahasiswa ini malah menginap Minggu di suatu dusun terasing di akhir selatan Yogyakarta.
“ Kurang lebih 50 orang, sebab bukan cuma dari UNY saja, terdapat yang dari UGM serta kampus lain pula. Ini lagi siap- siap, esok habis makan pagi pergi,” tutur Arma Abdul Raja, mahasiswa Pembelajaran Hayati Universitas Negara Yogyakarta( UNY) 2016 yang pula Ketua Operasional Komunitas Pengamat Burung Bionic UNY.
Sehabis seluruh perencanaan selesai, perut pula telah terisi, para penggila burung mulai bergegas mengarah ambang Kali Progo yang jaraknya dekat 5 km dari tempat mereka menginap. Memakai sepeda motor, mereka menapaki Jalur Pandansimo, membelah awan pipih khas pedesaan. Aroma khas tepi laut terus menjadi menusuk bersamaan lalu melajunya sepeda motor ke arah selatan; seperti itu aroma tepi laut selatan.
Awal mulanya jalur sedang lembut, sampai mendekati tujuan jalanan berganti serupa sekali. Dekat 1 km dari ambang Kali Progo, jalur aspal bertukar jadi jalur tanah berbatu. Abu mengepul tiap dilewati sepeda motor mereka. Sisi kiri serta kanan merupakan cerang serta bendungan udang, bila tidak hati- hati, bisa- bisa motor anjlok. Asian, seluruh hingga dengan antusias.
Hingga di ambang bengawan, mereka dipecah jadi 3 regu pengamat. Teropong telah terpasang, novel memo serta pen pula telah di tangan. Mereka telah sedia menulis tiap burung yang mereka jumpai.
Mentari yang mulai melambung serta tidak sempat enggan menusuk bubun tidak jadi pertanyaan. Sesekali banyolan tawa muncul di tengah mereka.
Banyak orang Abnormal Kurang Kerjaan
Jadi pengamat burung, tidaklah kegemaran serta tanggung jawab yang subbagian di golongan mahasiswa. Ternyata,“ Malah banyak yang bilang kurang kerjaan, orang abnormal. Burung kenapa dicermati,” tutur Alfian Surya Fathoni, mahasiswa Pembelajaran Hayati UNY 2016.
Ini merupakan tahun ketiga Alfian turut aktivitas observasi burung evakuasi di ambang Kali Progo. Dari banyak orang di sekelilingnya, ia sering memperoleh pendapat semacam itu; ditatap abnormal gegara kegemaran mengamati burung.
Alfian membenarkan sempat memperhitungkan para pengamat burung selaku,“ kurang kerjaan”. Tetapi sehabis memahami lebih jauh, memandang lebih dekat burung untuk burung, rasa cintanya pada mereka mulai berkembang. Apalagi, saat ini sebagian temannya yang bertukar pandang serupa dengannya dahulu pula mulai banyak yang terpikat dengan aktivitas“ kurang kerjaan” itu.
Sabrina Warda Ayuni, mahasiswi Hayati UNY 2017 terkini kali ini turut aktivitas observasi burung tepi laut. Sabrina pula mengamini kalau banyak yang memandang sisi mata aktivitas mereka. Tetapi, Sabrina memilah buat berlagak bodo amat.
Sabrina berterus terang, telah semenjak kecil dekat dengan keadaan beraroma alam. Memandang burung- burung di tepi laut selatan buat awal kalinya membuat Sabrina memperoleh kebahagiaan tertentu, walaupun wajib berpanas- panasan di dasar amat mentari.
“ Baik. Soalnya burung itu fauna yang menawan,” tutur Sabrina.
Naufal Seta, mahasiswa Medis Binatang UGM yang pula Ketua Perkumpulan Pengamat Burung Jogja berkata, pemikiran sisi mata banyak orang kepada kegiatan mereka merupakan perihal lazim.
“ Itu kan hak mereka, alami lah sebab bisa jadi belum ketahui,” tuturnya.
Perjumpaan Pertama
Wawasan serta pertembungan awal dengan burung migran jadi insiden geletar adat yang jelas untuk para mahasiswa ini. Di ambang Kali Progo, Naufal Seta berterus terang merasa dapat memandang mukjizat sarwa buat pertamakalinya dalam hidupnya. Kala itu petang terkini saja datang, ratusan burung migran melambung benar di atas kepalanya membuat suatu koreo yang luar biasa.
“ Fantastis. Mereka kenapa dapat tiba berbarengan ke mari. Serta sehabis dipelajari lagi, nyatanya ia evakuasi dari bagian alam sisi utara yang amat jauh, ribuan km jauhnya,” tutur Naufal menggambarkan opini pertamanya melihat burung- burung evakuasi di ambang Kali Progo.
Pencarian jarak lewat google dari, diandaikan Rusia ke Yogya, jauhnya 7. 725 km. Terdapat darat serta lautan jauh yang wajib burung- burung migran itu taklukkan.
Momen pertamakali untuk Alfian Surya Fathoni tiba dekat 3 tahun dahulu, pula di ambang Kali Progo. Dikala itu ia siuman, banyak sekali yang belum ia tahu mengenai sarwa; kalau terdapat kayangan di ambang Kali Progo.
“ Itu semacam gamparan keras sih, nyatanya wawasan kita tidak terdapat apa- apanya,” tuturnya.
Awal mulanya Alfian memandang burung betul semata- mata burung, tidak terdapat yang eksklusif. Cuma seekor fauna bersayap dengan warna putih, abu- abu, ataupun gelap. Tetapi saat ini, sehabis lumayan lama memahami bumi burung, ia mengetahui kalau mereka merupakan bagian dari mukjizat sarwa.
Mukjizat sarwa itu pula dialami oleh Sabrina. Ia sedemikian itu terkesan kala memandang ratusan burung evakuasi yang melambung menempuh ratusan apalagi ribuan mil dengan sayap- sayap kecilnya. Burung- burung itu menurutnya mengarahkan suatu independensi serta kegiatan serupa.
“ Freedom sih, leluasa. Mereka melambung ribuan mil melampaui samudera dari satu tempat ke tempat lain. Beberapa dari mereka melambung dalam sekumpulan, kerjasama mereka gimana?
Itu semua luar biasa sih,” tutur Sabrina.
Tidak sangat kelewatan bila ambang Kali Progo dekat tepi laut Trisik diucap selaku kayangan para burung tepi laut. Karena, dari 78 genus burung tepi laut, bagus evakuasi ataupun penetap yang terdapat di Indonesia, 44 dapat ditemukan di ambang Kali Progo.
“ Ambang Progo ini harta karun burung tepi laut di Indonesia,” tutur Alfian.
Minggu pagi itu, sampai jam 08. 30 Wib, sudah banyak tipe burung migran yang mereka tulis. Cerek gelegata, cerek pasar besar, biru laut, trinil tepi laut, kudidi, serta sebagian yang lain yang susah dikenali oleh mata orang biasa.
Bayangkan, burung- burung yang berdiam di poros utara alam, dari Rusia, Siberia, Mongolia, Cina, Jepang, beranjak melampaui arah yang penerbangan Asia Timur- Australasia mengarah selatan dengan tujuan Yogya, Papua, Selandia Terkini serta Australia. Terdapat ribuan mukjizat yang terbuat sang kecil bersayap itu tiap hari di atas langit kita.
Surga yang Terancam Hilang
Naufal Seta kira- kira kecewa kala mengalami pergantian tanah yang lumayan penting di ambang Kali Progo pagi itu. Ia menunjuk suatu darat kecil yang terdapat di tengah ambang. Darat itu dipadati oleh puluhan burung cewek laut.
“ Dahulu tidak sekecil itu, dahulu sedang besar,” tutur Seta.
Menurunnya darat itu tidak lain sebab kegiatan orang; paling utama penambangan pasir yang pula terdapat di ambang Kali Progo. Bagi Naufal, pergantian tanah dampak kegiatan orang itu jadi bahaya sungguh- sungguh untuk keberlangsungan ekosistem burung tepi laut di situ.
Kondisi terus menjadi akut kala bendungan udang ikut memenuhi area itu. Tambak- tambak itu terus menjadi dekat dengan garis tepi laut, akhirnya ruang para burung tepi laut buat mencari makan juga terus menjadi kecil. Belum lagi pertanyaan kotoran bendungan yang pula jadi dilema tertentu.
Banyaknya kegiatan pemancingan di dekat ambang pula ikut jadi bahaya. Alasannya, insting fauna, tercantum burung hendak senantiasa menjauhi kegiatan orang. Kala tempat itu telah terus menjadi marak oleh kegiatan orang, amat bisa jadi burung- burung itu berangkat mencari tempat lain yang lebih nyaman serta aman untuknya. Tidak hanya pemancing, pemburu buas ikut mengecam kehadiran kayangan di ambang Kali Progo itu.
“ Durasi lagi observasi dahulu, aku sempat bertemu orang membawa senapan. Tangan satunya nenteng burung buruannya,” tutur Naufal Seta.
Alfian pula berkata begitu. Bila perihal itu lalu didiamkan, bisa- bisa kayangan di ambang Kali Progo kehabisan surganya. Sementara itu, burung- burung tepi laut di situ bagi ia berfungsi berarti dalam melindungi penyeimbang ekosistem. Beberapa dari burung itu hendak mencari makan di persawahan serta tanah pertanian masyarakat. Mereka hendak menyantap hewan- hewan kecil di situ semacam keong serta bermacam tipe serangga yang sering jadi kompetitor orang tani.
“ Jadi mereka pula memiliki partisipasi besar buat hidup orang,” tutur Alfian.
Kala di hutan, burung pula jadi agen penabur bulir. Biji- biji itu esoknya hendak berkembang jadi pohon- pohon terkini yang bisa melindungi penyeimbang alam, pastinya bila tidak terdapat tangan orang yang mengganggu.
Memandang pergantian ekosistem di ambang Kali Progo itu, Alfian berambisi pihak- pihak terpaut ingin bersandar bersama mencari jalur tengah atas permasalahan yang terdapat. Ia pula berambisi supaya ambang Kali Progo diresmikan selaku area pelestarian, mengenang kedudukan berartinya untuk ekosistem burung tepi laut.
“ Jadi tidak dapat sekehendak hati sendiri lagi. Tidak terdapat lagi alibi saya itu telah lama di mari. Itu telah tidak dapat, burung- burung itu telah lebih lama di mari,” tutur Alfian.
Agaknya, sudah ribuan tahun evakuasi burung berjalan. Balik alik dari alam utara ke selatan, ke selatan ke utara, menjauhi masa dingin, kaitan makanan burung evakuasi jadi metode alam melindungi keseimbangannya. Serta orang, kelewat sombong merasa dapat hidup sendiri. Apalagi terdapat gelar‘ orang abnormal’ untuk mereka yang akan berupaya mengidentifikasi insiden mukjizat burung migran ini.